PEMBANGUNAN SOSIAL DI NEGARA MAJU DAN BERKEMBANG
Oleh: Edi Suharto, PhD
The questions to ask about a country’s development are therefore: What has been happening to poverty? What has been happening to unemployment? What has been happening to inequality? If all three of these have declined from high levels then beyond doubt this has been a period of development for the country concerned. If one or two of these central problems have been growing worse, especially if all three have, it would be strange to call the result “development” even if per capita income doubled. Dudley Seers (1972)
While humanity shares one planet, it is a planet on which there are two worlds, the world of the rich and the world of the poor. Raanan Weitz, 1986
PEMBANGUNAN sosial adalah strategi yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan manusia secara paripurna. Pembangunan sosial lebih berorientasi pada prinsip keadilan sosial ketimbang pertumbuhan ekonomi. Beberapa sektor yang menjadi pusat perhatian pendekatan ini mencakup pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, jaminan sosial dan pengentasan kemiskinan.
Secara sempit, pembangunan sosial dapat didefinisikan sebagai pembangunan kesejahteraan sosial. Ia berorientasi pada peningkatan keberfungsian sosial (social functioning) kelompok-kelompok tidak beruntung (disadvantage groups) atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (P2KS), yang meliputi fakir miskin, anak terlantar, anak jalanan, pekerja anak, keluarga rentan, wanita rawan sosial ekonomi, dan komunitas adat lokal.
Pembangunan sosial dapat dilihat dari output indicators (indikator keluaran), seperti tingkat kemiskinan, melek hurup, harapan hidup, dan partisipasi sosial. Indikator standar hidup ini telah dikembangkan sejak tahun 1970an. Misalnya, Social Accounting Matrix (SAM) yang digagas oleh Pyatt dan Round (1977); Physical Quality of Life Index (PQLI) oleh Morris (1977), dan Human Development Index oleh tim UNDP (Mahbub Ul Haq, Amartya Sen, Paul Streeten dkk.).
Pembangunan sosial bisa pula diukur dari input indicators (indikator masukan) yang umumnya dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial. Dalam kaitannya dengan indikator masukan ini, masih berkembang anggapan bahwa pembangunan sosial adalah “pengeluaran mahal” yang tidak akan mampu dilakukan oleh negara-negara berkembang. Hanya negara-negara kaya saja yang pantas melakukan investasi sosial yang mewah ini.
Potret Negara Berkembang
Tabel 1 dan 2 mengilustrasikan pembangunan sosial di beberapa negara berkembang di Asia Tenggara di lihat dari output indicators dan input indicators. Secara sederhana, data tersebut menginformasikan bahwa:
1. Pembangunan ekonomi yang berhasil umumnya diikuti oleh membaiknya kualitas hidup. Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia.
2. Tingginya pendapatan nasional senantiasa diikuti oleh tingginya pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial. Artinya, semakin kaya suatu negara semakin besar pemerintah tersebut mengeluarkan anggaran sosial.
3. Tingkat kualitas hidup ternyata ditunjang pula oleh tingkat pengeluaran sosial. Dapat dikatakan bahwa kemajuan sosial tidak hanya ditentukan oleh kemajuan ekonomi, melainkan pula oleh adanya proporsi pengeluaran sosial yang memadai.
Negara Lemah versus Negara Sejahtera
Sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak selalu berjalan linier dengan perbaikan standar hidup. Alasannya sederhana. Pertumbuhan ekonomi baru berdampak pada perkembangan hidup, jika disistribusikan secara proporsional untuk pembangunan sosial (Ranis dan Stewart, 1999). Menurut Haq (1995), idealnya negara berkembang dan maju dapat mengeluarkan anggaran untuk pembangunan sosial antara 15 – 20 persen dari pengeluaran pemerintahnya. Penelitian UNDP (1990) membuktikan bahwa “developing countries are not too poor to pay for human development”. Karenanya, negara berkembang tidak perlu menunggu perekonomiannya tumbuh terlebih dahulu, baru melakukan investasi sosial.
Studi di negara-negara Eropa, Amerika, Australia dan Selandia Baru yang dilakukan penulis (Suharto, 2002) memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi (GDP) tidak selalu diikuti dengan tingginya pengeluaran sosial. Begitu pula pengeluaran sosial yang rendah di suatu negara tidak selalu dikarenakan pembangunan ekonominya yang rendah.
Spektrum mengenai hubungan antara pembangunan ekonomi (PE) dan pengeluaran sosial (PS) tersebut dapat dikategorikan kedalam empat model, yaitu:
1. Negara Lemah. Negara ini ditandai dengan PE yang rendah dan PS yang rendah pula. Indonesia, Kamboja, Vietnam termasuk dalam kategori ini. GDP negara-negara ini masih dibawah US$5.000 dan mengeluarkan belanja sosial kurang dari 3 persen dari pengeluaran pemerintahnya.
2. Negara Pelit. Meskipun negara ini memiliki PE yang tinggi, tetapi PS-nya relatif rendah. Amerika Serikat, Australia dan Jepang termasuk dalam kategori ini. Secara berturut-turut negara ini memiliki pendapatan (GDP) sebesar US$21.449; US$17.215; dan US$23.801. Namun, mereka hanya membelanjakan anggaran negara untuk pembangunan sosial sebesar 14,6 persen, 13,0 persen dan 11,6 persen.
3. Negara Baik Hati. PE di negara ini relatif rendah. Kondisi ini tidak menghalangi negara untuk memberi porsi besar terhadap PS. Yunani dan Portugal memiliki GDP sebesar US$6.505 dan US$6.085. Namun negara-negara ini mengeluarkan belanja sosial sebesar 20,9 persen dan 15,3 persen.
4. Negara Sejahtera. Negara sejahtera merupakan sosok negara ideal, karena memiliki PE dan PS yang tinggi. Posisi negara sejahtera diduduki terutama oleh negara-negara Skandinavia yang menerapkan sistem welfare state murni, seperti Swedia (PE US$26.652 – PS 33,1%); Norwegia (PE US$24.924 – PS 28,7%); Denmark (PE US$25.150 – PS 27,8%); dan Finlandia (PE US$27.527 – PS 27,1%). Negara-negara Eropa Barat juga termasuk kategori ini: Belanda (PE US$18.676 – PS 28,8); Prancis (PE US$21.105 – PS 26,5%); Austria (PE US$20.391 – PS 24,5%); Jerman (PE US$23.536 – PS 23,5%); dan Inggris (PE US$16.985 – PE 22,3%). Dengan PE US$13.020 dan PS 19,0%, Selandia Baru termasuk kategori negara sejahtera.
Mobil Mewah dan Baju Dinas
Saat ini, lebih dari 38 juta atau 23 persen dari penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dan 12,7 juta diantaranya adalah fakir miskin (Republika, 5 Mei 2003). Selain kemiskinan, Indonesia juga masih dililit problema pengangguran yang mencapai 38,3 juta jiwa angkatan kerja. Sebanyak 30,2 juta jiwa diantaranya adalah pengangguran terbuka yang mencapai 78,85 persen (Republika, 21 Agustus 2003).
Haryanto (12 tahun), seorang murid SD di Kabupaten Garut menggantung diri karena malu tidak mampu membayar Rp.2.500 untuk kegiatan ekstrakurikuler. Ayahnya adalah buruh pikul di pasar Garut yang penghasilannya sehari Rp.20.000 (Media Indonesia, 3 September 2003).
Gambaran makro dan mikro di atas menunjukkan masih banyaknya penduduk di Indonesia yang hidup serba kekurangan. Pendidikan, sebagai salah satu kebutuhan dasar dan vital juga masih atau bahkan semakin sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Itu artinya, betapa buramnya potret pembangunan sosial di Indonesia.
Memang benar, pembangunan sosial adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun, bila kita cermati praktik di negara lain, baik negara maju maupun berkembang, pemerintah mengemban amanat yang besar untuk mengalokasikan dananya bagi sektor sosial secara lebih proporsional.
Keterbatasan dana sudah tidak memadai lagi dijadikan alasan ketertinggalan ini. Dengan komitmen dan pengaturan yang baik, pemerintah di negara-negara berkembang sesungguhnya sudah mampu untuk meningkatkan anggarannya lebih besar lagi bagi pembangunan sosial. Persoalannya kerapkali terletak pada misalokasi dan mismanajemen anggaran pembangunan.
Seperti banyak dilaporkan mass media, anggaran belanja pemerintah pusat maupun daerah seringkali tidak mengedepankan kepentingan masyarakat banyak (lihat Utomo, 2003a). Pada KTT ASEAN di Bali 7-8 Oktober nanti, pemerintah berencana menyediakan mobil BMW Seri 7 untuk para kepala negara dan Seri 5 untuk pejabat setingkat menteri. Jumlah kepala negara yang akan diundang (berikut negara tamu Cina, Jepang, Korea, dan India) adalah sebanyak 14 orang. Apabila setiap negara membawa dua menteri, maka akan hadir 28 menteri. Harga BMW Seri 7 yang termurah (735Li) adalah Rp. 1,88 miliar. Sedangkan harga termurah BMW Seri 5 (tipe 530) adalah Rp. 815 juta. Dengan demikian, dana yang diperlukan untuk kendaraan kepala negara adalah Rp. 26,32 miliar dan untuk para menteri sebesar Rp. 22,82 miliar.
Parodi mobil mewah dan kamuflase kemiskinan gaya Orde Mega ini tampaknya diwariskan dari orde sebelumnya: Orde Gus Dur maupun Orde Baru. Pada KTT G-15 (negara-negara yang terbilang miskin) pemerintahan Gus Dur menyediakan 50 mobil mewah (dari rencana sebelumnya 400 unit). Mercedes Benz Seri S-500, S-600, ML-320, Audi A-6, Nissan Patrol, dan VW Caravelle adalah beberapa merk yang disediakan untuk para delegasi. Untuk para kepala ekonomi negara-negara APEC pada pertemuan di Istana Bogor tahun 1994, pemerintahan Soeharto mengimpor 200 mobil mewah, seperti Mercedes Benz S-600 dan BMW 740. Sebelumnya, pada KTT ke-10 Nonblok tahun 1992, pemerintah Soeharto juga mengimpor mobil luks built up seperti Mercedes Benz 300 SEL (110 unit), Volvo 960 (210 unit), Nissan Patrol (210 unit), dan VW Caravelle (210 unit) untuk para delegasi.
Conscious cruelty pemerintah daerah ternyata sami mawon. Dana rakyat tidak jarang digunakan oleh eksekutif dan legislatif dengan semena-mena untuk “hil-hil yang mustahal” yang bernama “kebutuhan dinas” (rumah dinas, mobil dinas, baju dinas) atau paket-paket “kadeudeuh” lainnya di luar kewajaran. Di DKI Jakarta, misalnya, anggaran baju dinas untuk 85 anggota DPRD adalah sebesar Rp. 1,04 miliar dan untuk gubernur sebesar Rp. 65 juta. Anggaran ini ternyata masih kurang, untuk tahun anggaran berikutnya anggaran ini minta dinaikan lagi sebesar Rp. 434,7 juta. Ketidakwajaran anggaran ini tidak hanya di Jakarta. DPRD Riau juga menganggarkan Rp. 850 juta untuk anggotanya yang berjumlah 55 orang (Utomo, 2003b).
Refleksi
Praktik pembangunan di negara-negara berkembang di Asia Tenggara menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi berhubungan secara positif dengan tingkat pengeluaran sosial. Namun demikian, melihat masih kecilnya pengeluaran sosial di negara-negara ini (antara 2–6 persen) dapat dinyatakan bahwa komitmen pemerintah terhadap pembangunan sosial masih rendah.
Anggapan bahwa pengeluaran sosial yang tinggi merupakan “kemewahan” dan hanya mampu dilakukan oleh negara-negara kaya ternyata tidak terbukti. Kenyataan di banyak negara menunjukkan bahwa tingginya pengeluaran sosial tidak selalu ditentukan oleh tingginya GDP, seperti diperlihatkan model negara lemah versus negara sejahtera. Sebagai contoh, GDP AS, Australia dan Jepang lebih besar dari Yunani dan Portugal, tetapi pengeluaran sosial ketiga negara tersebut jauh di bawah Portugal dan Yunani. GDP Malaysia (US$ 7.730) juga lebih besar dari GDP Yunani (US$ 6.505) dan Portugal (US$ 6.085), tetapi pengeluaran sosial Malaysia (5,8%) jauh di bawah kedua negara tersebut (20,9% dan 15,3%). Pendapatan Thailand (US$ 6,490) hanya terpaut sedikit di bawah Portugal dan Yunani, namun pengeluaran sosial Thailand (4,2) jauh tertinggal oleh Portugal dan Yunani.
Laporan tahunan UNDP, Human Development Report, yang kini menjadi acuan di berbagai negara di dunia, secara konsisten menunjukkan bahwa pembangunan manusia mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak memperhatikan pembangunan manusia tidak akan bertahan lama (sustainable). Ini sejalan dengan temuan pakar ekonomi pemenang Nobel 1998, Amartya Sen. Ia dengan sempurna membuktikan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial tidaklah otomatis. Agar berjalan positif dan berkelanjutan harus ditunjang oleh kebijakan sosial (social policy) pemerintah yang pro pembangunan sosial.
Catatan:
Dekembangkan dari makalah yang disampaikan pada Kuliah Tamu, Jurusan Kesejahteraan Sosial, Universitas Muhammadiyah Malang, 19 September, 2003.
Penulis adalah dosen STKS, UNPAS dan UNLA Bandung; Konsultan pada International Labour Organisation-International Programme for the Elimination of Child Labour (ILO-IPEC), Jakarta (2002-2003); Sejak Maret 2003 sampai sekarang menjadi International Policy Fellow/Analyst pada Central European University (CEU), Budapest, Hungary.
|