MASYARAKAT MADANI: AKTUALISASI PROFESIONALISME COMMUNITY WORKERS DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERKEADILAN

 

DR. EDI SUHARTO MSC

 

PENGANTAR

 

Ketika mahasiswa memberikan judul orasi ilmiah: “Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Yang Berkeadilan”. Ada dua kata yang langsung masuk ke pusat kesadaran saya: yakni mengenai kata community workers dan kedua mengenai kata masyarakat madani yang berkeadilan. Mengapa istilah community workers tidak dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia? Mengapa istilah masyarakat madani harus disertai dengan kata “yang berkeadilan”? 

 

Saya mencoba memahami. Soal community workers, saya yakin, mahasiswa bukannya tidak mengetahui terjemahan community workers yang secara harafiah bisa di-Indonesiakan menjadi para pekerja (sosial) masyarakat. Namun saya juga tahu bahwa istilah pekerja sosial masyarakat telah mengalami erosi dan degradasi makna. Saya yakin mahasiswa keberatan dengan istilah itu karena pekerja sosial masyarakat bisa menunjuk pada para pekerja sosial volunteer sebagai kontraposisi dari pekerja sosial profesional.

 

Lantas bagaimana soal masyarakat madani yang berkeadilan? Apakah jika istilah “masyarakat madani” tanpa tambahan kata sifat “yang berkeadilan” memiliki arti yang berbeda atau setidaknya tidak sesuai dengan arti “masyarakat madani” yang sejati? Untuk soal ini saya mencoba menerka-nerka. Mungkin mahasiswa tahu bahwa ternyata makna masyarakat madani bisa merosot menjadi sebuah makna masyarakat lain yang tidak sejalan dengan visi dan misi civil society. Atau mungkin mahasiswa ingin menunjukkan sebuah makna baru dari istilah masyarakat madani?

 

Yang ingin saya tunjukkan dari paparan di atas adalah bahwa memang masih banyak tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pekerja sosial, khususnya community workers, dalam mengaktualisasikan jati dirinya. Apalagi tantangan-tantangan dalam kaitannya dengan tujuan profesionalismenya, yakni mewujudkan masyarakat madani. Tantangan-tantangan tersebut masih belum beranjak dari persoalan epistemologi. Dengan sedikit modifikasi pada judulnya, sebagian besar dari makalah ini ingin mencoba menyingkap tirai itu. Kemudian akan mencoba mengusulkan sebuah pandangan baru, yang oleh Anthony Gidden disebut sebagai “Jalan Ketiga”.

 

DUA PARADIGMA

 

Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada baiknya, kita tengok secara sepintas dua paradigma besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat madani, yaitu Demokrasi Sosial Klasik dan Neoliberalisme (lihat Giddens, 2000: 8-17).

 

1. Demokrasi Sosial Klasik.

 

Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas sebagai sesuatu yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa semua ini dapat diatasi lewat intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa diberikan oleh pasar. Intervensi pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan adalah mutlak diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi Sosial Klasik:

  • Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
  • Negara mendominasi masyarakat madani
  • Kolektivisme.
  • Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.
  • Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.
  • Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.
  • Egalitarianisme yang kuat.
  • Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara “sejak lahir sampai mati”.
  • Modernisasi linear.
  • Kesadaran ekologis yang rendah.
  • Internasionalisme.
  • Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).

 

2. Neoliberalisme

 

Neoliberalisme dikenal juga dengan Thatcherisme (Margaret Thatcher adalah mantan PM Inggris yang sangat setia mengikuti faham neoliberalisme semasa berkuasa). Apabila Demokrasi Sosial Klasik cenderung pro pemerintah, maka ciri utama Neoliberalisme adalah memusuhi pemerintah. Edmund Burke, pelopor konsevatisme di Inggris, menyatakan dengan jelas ketidaksukaannya kepada negara. Jika perluasan perannya terlalu jauh dapat mematikan kebebasan dan kemandirian. Pemerintahan Reagan dan Thatcher mendasarkan diri pada gagasan ini dan menganut skeptisisme liberal klasik mengenai peran negara. Intinya peran negara tidak dibenarkan secara ekonomis dan harus digantikan oleh superior pasar. Menuut Giddens (2000:9):Ciri-ciri Neoliberalisme adalah: 

  • Pemerintah minimal.
  • Msyarakat madani yang otonom
  • Fundamentalisme pasar.
  • Otoritarianisme moral dan individualisme ekonomi yang kuat.
  • Kemudahan pasar tenaga kerja.
  • Penerimaan ketidaksamaan.
  • Nasionalisme tradisional.
  • Negara kesejahteraan sebagai jaring pengaman
  • Modernisasi linear.
  • Kesadaran ekologis yang rendah.
  • Teori realis tentang tatanan internasional.
  • Termasuk dalam dunia dwikutub.

  

 

MASYARAKAT MADANI

 

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

 

1.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat  melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

5.      Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.

6.      Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu  mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.

 

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:

 

1.   Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.

2.   Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok. 

3.   Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain  terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

4.   Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga  swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan  kebijakan publik dapat dikembangkan.

5.   Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling  menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6.   Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,  hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7.   Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan  yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.

 

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

 

1.   Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. 

 

2.   Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.” 

 

      Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

 

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.

 

Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.

 

AGENDA JALAN KETIGA

 

Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dapat dijadikan pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya di masyarakat. Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yaitu: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga (Giddens, 2000: 76-80):

 

Politik Jalan Ketiga:

  • Persamaan
  • Perlindungan atas mereka yang lemah.
  • Kebebasan sebagai otonomi.
  • Tak ada hak tanpa tanggungjawab.
  • Tak ada otoritas tanpa demokrasi.
  • Pluralisme kosmopolitan.
  • Konservatisme filosofis.
  • Program Jalan Ketiga:
  • Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).
  • Masyarakat madani yang aktif.
  • Keluarga demokratis.
  • Ekonomi campuran baru.
  • Kesamaan sebagai inklusi.
  • Kesejahteraan positif.
  • Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).
  • Bangsa kosmopolitan.
  • Demokrasi kosmopolitan
  • Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakeley dan Suggate, 1997):

 

1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan adil.

2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini meliputi desentralisasi pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya. 

3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasi-organisasi lokal.

 

Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari community workers dan masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah mimpi, sedangkan aksi tanpa visi adalah kegiatan sehar-hari.

 

 

CATATAN

 

1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembangan Sosial Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.

2.   Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah staf pengajar STKS dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosial di STKS Bandung tahun 1990, penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc pada tahun 1994. Pada tahun 2002 belum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand setelah memperoleh PhD dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The Urban Informal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan Social Policy.

 

BAHAN BACAAN

 

Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of Constitutional Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm. 

Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David Robinson, Social Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies, hal. 80 - 100.

DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profession, Boston: Allyn and Bacon.

Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di Persimpangan Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-East Institute, hal.1-7.